Saturday, September 15, 2018

TUGAS PENGENDALIAN GULMA PENGENDALIAN GULMA PADA TANAMAN KELAPA TELAH MENGHASILKAN DENGAN HERBISIDA SISTEMI




 
TUGAS PENGENDALIAN GULMA
PENGENDALIAN GULMA PADA TANAMAN KELAPA TELAH MENGHASILKAN DENGAN HERBISIDA SISTEMI


Oleh :
Jeky Miharja
NPM.E1J014144


JURUSAN BUDIDAYA PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2017



 
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tanaman kelapa sawit merupakan komoditas perkebunan unggulan ndonesia. Di tengah krisis global yang melanda dunia saat ini, industri kelapa awit  tetap  bertahan    dan  memberi  sumbangan  besar  terhadap  perekonomian egara. Selain mampu menciptakan kesempatan kerja yang luas, industri sawit menjadi salah satu sumber devisa terbesar bagi Indonesia.
Seiring  terus  meningkatnya  jumlah  penduduk  dunia,  kebutuhan  akan inyak makan juga terus meningkat. Minyak Kelapa Sawit (MKS) merupakan ahan baku utama pembuatan minyak makan sehingga MKS memiliki nilai yang angat srategis. Indonesia sebagai salah satu produsen MKS terbesar di dunia erusaha terus meningkatkan produksinya. Hal ini bisa dilihat dari terus ertambahnya areal perkebunan kelapa sawit.
Data  dari  Direktorat  Jendral  Perkebunan  (2008)  menunjukkan  bahwa erjadi peningkatan luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia, dari 4 713
35 ha pada tahun 2001 menjadi 7 363 847 ha pada tahun 2008 dan luas areal erkebunan kelapa sawit ini terus mengalami peningkatan. Peningkatan luas areal ersebut juga diimbangi dengan peningkatan produktivitas Minyak Kelapa Sawit MKS). Produktivitas MKS adalah 1.78 ton/ha pada tahun 2001 dan meningkat menjadi 2.17 ton/ha pada tahun 2005. Hal ini merupakan kecenderungan yang ositif dan harus dipertahankan. Untuk mempertahankan produktivitas tanaman etap tinggi diperlukan pemeliharaan yang tepat dan salah satu unsur pemeliharaan ebun kelapa sawit Tanaman Menghasilkan (TM) adalah pengendalian gulma.
Gulma merupakan organisme pengganggu tanaman yang dapat menimbulkan risiko terutama penurunan hasil. Gray dan Hew (1968) melaporkan ahwa Mikania micrantha menyebabkan kehilangan hasil tanaman kelapa sawit ebesar  20%  selama  lima  tahun.  Pengendalian  Ischaemum  muticum  L.,  jenis ulma  rerumputan  tahunan,  mampu  meningkatkan  bobot  tandan  buah  segar ekitar 10 ton/ha dalam waktu tiga tahun (Teo et al. 1990). Mengingat besarnya engaruh gulma terhadap produksi kebun, maka diperlukan adanya pengendalian ulma yang tepat.
Tujuan
Tujuan Makalah ini ialah sebagai berikut :
·         Menambah wawasan dan pengetahuan tentang teknik budidaya maupun manajerial yang diterapkan di kebun.
·         Membandingkan antara teori yang diperoleh di bangku kuliah dengan kondisi di  lapangan  serta  meningkatkan  kemampuan  profesionalisme  mahasiswa dalam memahami dan menghayati proses kerja yang nyata.
·         Mempelajari pelaksanaan dan manajemen pengendalian gulma di perkebunan kelapa sawit
·         Menganalisis permasalahan yang ada dalam pengelolaan pengendalian gulma di perkebunan kelapa sawi


BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN

Jenis Gulma
Jenis gulma yang tumbuh di suatu tempat berbeda-beda, tergantung faktor ngkungan yang mempengaruhinya. Menurut Sastroutomo (1990), komunitas umbuhan memperlihatkan adanya diferensiasi baik secara vertikal maupun orizontal. Setiap  jenis tumbuhan tersebar dengan ketinggian tempat  berbeda- eda dan tersebar pada lokasi dan jarak yang berbeda-beda pula.
Untuk mengetahui kondisi gulma di suatu lahan, perlu dilakukan analisis egetasi. Komunitas gulma dibedakan menjadi gulma di gawangan dan gulma di iringan. Untuk gulma di gawangan, data diambil dengan menggunakan metode uadran  berukuran  1  m  x  1  m  yang  dilemparkan  secara  acak.  Pelemparan ilakukan pada 5 gawangan pada setiap blok dengan setiap gawangan dilakukan elemparan  sebanyak  5  kali.  Untuk  gulma  di  piringan,  data  diambil  dengan mencatat populasi gulma pada 5 gawangan untuk setiap blok dengan setiap awangan diambil 10 pokok contoh secara acak.
Setiap individu yang ditemukan pada petak pengamatan dihitung jumlah masing-masing. Data persentase populasi gulma diperoleh dengan cara membandingkan antara jumlah individu suatu jenis gulma yang ditemukan pada emua  petak  pengamatan  dengan  total  individu  semua   jenis   gulma   yang itemukan pada petak. Jenis gulma yang ada di blok C13 dan B15 Divisi III isajikan
tentu belum bisa menggambarkan keadaan gulma yang ebenarnya di lapangan. Blok C13 dan B15 memiliki kedalaman yang berbeda- eda. Blok C13 memiliki kedalaman gambut antara 2-8 m, sedangkan Blok B15 memiliki kedalaman gambut 6 m sampai lebih dari 8 m. Hal ini tentu memiliki engaruh terhadap kondisi gulma yang ada pada masing-masing blok.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Komunitas Gulma
Lingkungan. Faktor lingkungan yang  mempengaruhi komunitas gulma dalah  iklim terutama curah  hujan.  Daerah  yang  memiliki curah  hujan tinggi memiliki  pertumbuhan  gulma  yang  cepat,  beragam,  dan  kerapatannya  tinggi.


Berdasarkan Schmidth-Ferguson, kebun PT JAW memiliki tipe iklim A dengan urah hujan 2 673.98 mm/tahun.
Kondisi   tanah,   yang   didominasi   oleh   tanah   gambut,   pada   musim enghujan sangat basah. Hal ini menjadikan kebun PT JAW sebagai lahan yang aik bagi pertumbuhan gulma. Pertumbuhan gulma di kebun sangat cepat karena idukung oleh curah hujan yang tinggi. Hal ini bisa dilihat dari kondisi gulma ang berat ketika pelaksanaan penyemprotan dan sudah tumbuh lagi dengan baik ebelum rotasi pengendalian gulma pertama selesai.

Tabel . Jenis-jenis Gulma di Blok C13 dan B15

o.         Jenis gulma di gawangan         Populasi
            Nephrolepis bisserata   26. 6 %
            Paspalum conjugatum  22. 4 %
            Axonopus compressus 14. 9 %
            Ottochloa nodosa         1. 3 %
            Ageratum conyzoides  8. 7 %
            Mikania micrantha       6. 2 %
            Borreria alata   4. 9 %
            Chromolaena odorata  3. 8 %
            Melastoma malabathricum       1. 2 %
            Total    100.0 %
o.         Jenis gulma di piringan            Populasi
            Nephrolepis bisserata   33. 6 %
            Asystasia coromandeliana       31. 8 %
            Kentosan (anakan sawit liar)    17. 3 %
            Pteridium esculentum  11. 9 %
            Paspalum conjugatum  5. 4 %
            Total    100.0 %
Sumber : Pengamatan di Lapangan


Kultur   teknis.   Kegiatan   teknis   kebun   yang   berpengaruh   terhadap omunitas gulma adalah pengolahan lahan, pemupukan, dan pengendalian gulma ebelumnya.   Pengolahan   lahan  
pemupukan berkaitan dengan daya saing gulma dalam penyerapan hara. Gulma di iringan akan tumbuh baik jika pemupukan dilakukan tanpa pembersihan gulma. engendalian  gulma  sebelumnya  berkaitan  dengan  rotasi  pengendalian  gulma ang tepat. Jika rotasi dilakukan hanya 2 kali setahun, maka gulma sudah tumbuh erat sebelum satu rotasi selesai dilaksanakan.
Kondisi   tanaman   pokok.   Kondisi   tanaman   pokok   mempengaruhi omunitas  tanaman  di  bawahnya,  yaitu  gulma.  Tanaman  pokok  yang  baik memiliki tajuk yang saling menutup sehingga cahaya yang masuk ke permukaan anah tidak banyak. Hal ini akan menghambat pertumbuhan gulma di bawah tajuk arena intensitas cahaya matahari kurang bagi pertumbuhan gulma. Pengamatan
Di lapangan menunjukkan bahwa   areal yang tajuk tanamannya sudah menutup apat  memiliki sedikit  populasi gulma.  Gulma tumbuh  banyak  di  bagian  luar awangan karena penerimaan intensitas cahaya matahari lebih tinggi, sedangakan
Di dalam gawangan relative lebih sedikit.
Pertumbuhan  tanaman  pada  lahan  gambut  memang  tidak  sebaik  pada anah mineral berkaitan dengan daya dukung tanah terhadap pertumbuhan kelapa awit. Banyak pokok kelapa sawit yang tumbuh miring akibat fisik tanah tidak
mampu menopang bobot tanaman.
Aplikasiherbisida
Pengendalian gulma secara kimiawi dilakukan dengan menggunakan erbisida. Menurut Moenandir (1993), herbisida adalah bahan kimia yang dapat menghambat pertumbuhan bahkan mematikan tumbuhan. Selanjutnya herbisida isa  diklasifikasikan  menurut  cara  kerjanya  menjadi  herbisida  kontak  dan erbisida sistemik. Herbisida kontak bekerja pada bagian yang terkena herbisida an tidak ditranslokasikan, sedangkan herbisida sitemik adalah herbisida yang itranslokasikan ke jaringan tumbuhan.
Masalah keselamatan kerja kurang menjadi perhatian oleh para pekerja endiri.    Pekerja    tidak    menggunakan    perlengkapan    keselamatan    kerja enyemprotan,   seperti   pakaian   khusus   penyemprot   dan   masker.   Pekerja menganggap    perlengkapan    tersebut    menghambat    kerja.    Pakaian    khusus
penyemprot   tidak   nyaman   dipakai   karena   terasa   panas.   Masker   khusus enyemprot  dianggap  menyulitkan  pekerja  bernafas.  Meskipun  sudah menyediakan, perusahaan tidak menekankan penggunaan perlengkapan tersebut arena pekerja tidak mau bekerja jika dipaksa menggunakannya.
Dosis. Untuk mendapatkan hasil semprot yang baik, perlu diperhatikan osis   dan   volume   semprot   yang   dibutuhkan   dalam   pengendalian   gulma. Manajemen  PT  JAW  telah  menetapkan  dosis  herbisida  melalui  perhitungan umlah  dosis  dan  volume  semprot  berdasarkan  rekomendasi  dari  perusahaan. Kebutuhan herbisida perluasan dipengaruhi oleh umur tanaman dan luas bidang emprot gawangan. Berikut adalah contoh penentuan dosis herbisida Gramoxone76 SL.

Dosis rekomendasi blanket          = 1.5 l/ha

SPH (Stand Per Ha)                     = jumlah tanaman per ha = 135 pokok

Jarak tanam dalam baris               = 9.2 m Diameter piringan                        = 5 m Diameter tanaman    

                   = 0.8 m Lebar jalan pikul yang disemprot = 1.2 m Rata-rata diameter tanaman         = 0.8 m

Maka luas bidang semprot adalah luas piringan ditambah luas jalan pikul.

piringan/ha            = (L lingkaran piringan - L areal tanaman) x SPH

= (πr2 - πr2) x 135

= (3.14 x (2.5 m)2 – 3.14 x (0.4 m )2) x 135

= 2578.85 m2

jalan pikul              = panjang jalan pikul x lebar jalan pikul

=   x 1.2 m

=   x 1.2 m

= 745 m2

bidang semprot/ha = 2578.85 m2 + 745 m2

= 3323.85 m2

Maka, dosis per ha    =                       x L bidang semprot

=                 x 3323.85 m2

= 0.498 l, atau dibulatkan menjadi 0.5 l/ha.

Dosis yang digunakan tidak selalu tepat 0.5 l/ha, tergantung pada kondisi ulma. Akan tetapi, ketika penulis melaksanakan magang, perusahaan menekan enggunaan herbisida hingga dosis 0.4 l/ha untuk efisiensi biaya,. Hal ini sering menjadi masalah di lapangan.
Perusahaan menginginkan gulma bisa dikendalikan dengan dosis 0.4 l/ha, amun untuk kondisi gulma yang berat, dosis 0.4 l/ha tidak mampu menekan ulma.  Mandor  semprot  sering  memerintahkan  penggunaan  dosis  0.5  l/ha meskipun dengan risiko mendapat sanksi dari pimpinan. Penggunaan dosis yang melebihi  anggaran  biaya  tersebut  menyebabkan  pembengkakan  biaya  pada ealisasi penggunaan herbisida.
Tabel Lampiran 8  menunjukkan realisasi   pengendalian   gulma secara imiawi  di  Divisi  III  PT  JAW.  Sebagian  besar  realisasi  pengendalian  gulma melebihi anggaran biaya penggunaan herbisida yang telah ditetapkan, yaitu dosis
.4 l/ha, sedangkan penggunaan herbisida di lapangan sering mencapai 0.5 l/ha.
Volume semprot. Volume semprot per ha ditetapkan agar efisiensi enyemprotan bisa tercapai. Volume semprot adalah banyaknya larutan yang ibutuhkan perluasan. Volume semprot berpengaruh terhadap penggunaan dosis erbisida. Jika volume semprot tidak memenuhi standar kebun, maka herbisida ang digunakan juga tidak sama dengan dosis yang telah ditetapkan.
Volume   semprot   yang   digunakan   dipengaruhi   oleh   kondisi   jalan, ecepatan jalan, dan nozzle yang digunakan. Untuk mempermudah pekerjaan di pangan,  maka diperlukan kalibrasi volume semprot terlebih dahulu sehingga iketahui kebutuhan herbisida per knapsack. Berikut adalah contoh perhitungan tandar volume semprot menggunakan nozzle hitam

V   =

A   = Ukuran lebar semprot rata-rata (m)

B   = jarak yang ditempuh operator semprot per menit (m/menit) C   = rata-rata output semprot per menit (l/menit)
L   = Luas bidang semprot (m2)





V   = volume semprot

Maka, V  =

= 148.6 liter

Untuk  memudahkan  pelaksanaan  penyemprotan,  volume  semprot inyatakan dalam satuan knapsack (15 liter). Volume semprot yang dibutuhkan ntuk semprot jalan pikul dan piringan per hektar (3323.85 m2) adalah 148.6 liter
15 liter sama dengan 9.9 knapsack atau dibulatkan menjadi 10 knapsack . Pada elaksanaan  teknis  penyemprotan  di  lapangan,  volume  semprot  yang iaplikasikan tidak selalu tepat 148.6 liter. Untuk alasan yang telah disebutkan ada  pembahasan  tentang  dosis,  perusahaan  menekan  penggunaan  herbisida menjadi 0.4 l/ha, dengan demikian kebutuhan volume semprot juga berkurang menjadi 8 knapsack .
Besarnya  volume  semprot  yang  telah  ditetapkan  harus  dipatuhi  oleh ekerja. Namun, dalam pelaksanaannya volume semprot juga dipengaruhi oleh aktor  operator.  Berdasarkan  pengujian  terhadap  5  orang  operator  semprot engan  cara  simulasi  semprot  di tempat  yang  datar  untuk  mengetahui  nozzle utput  yang  dihasilkan  masing-masing  operator  menggunakan  knapsack  dan ozzle merah yang sama, diperoleh data yang disajikan padaTabel 9.
Tabel 9. Data Pengamatan Nozzle Output. Operator
semprot           Ulangan I           Ulangan II           Ulangan III          Rata-rata            
-------------------------liter/menit-------------------------

A         1.52     1.39     1.42     1.44
B          1.51     1.42     1.46     1.46
C          1.38     1.51     1.44     1.44
D         1.47     1.56     1.46     1.49
E          1.39     1.46     1.38     1.41
sumber : Pengamatan di lapangan
 Data pada Tabel 9 menunjukkan bahwa dengan nozzle dan knapsack yang ama, setiap operator menghasilkan output semprot yang berbeda. Meskipun erbedaannya kecil, jika dilakukan dalam waktu yang lama, yaitu selama kegiatan enyemprotan, bisa mempengaruhi volume semprot yang digunakan. Hal ini isebabkan perbedaan kecepatan dan kekuatan memompa.
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua operator semprot menggunakan  nozzle  yang  standar.  Operator  semprot  biasanya  memperbesar ubang  pengeluaran nozzle  untuk  mempercepat  keluarnya  larutan dengan cara icongkel  atau  dikorek  menggunakan  jarum.  Tabel  10  menunjukkkan  hasil engujian terhadap 5 orang operator semprot menggunakan knapsack dan nozzle merah masing-masing.

Tabel   10.   Data   Pengamatan   Nozzle   Output   5   Operator   Semprot
Menggunakan Knapsack dan Nozzle Merah Masing-masing.

Operator semprot       Ulangan I         Ulangan II       Ulangan III        Rata-rata
------------------------- l/menit -------------------------

A         1.64     1.59     1.70     1.64
B          1.66     1.64     1.71     1.67
C          1.65     1.61     1.64     1.63
D         1.68     1.64     1.63     1.65
E          1.61     1.65     1.72     1.66
sumber : Pengamatan di lapangan


Data pada Tabel 10 menunjukkan volume semprot juga dipengaruhi oleh ozzle yang digunakan. Nozzle yang lubang pengeluarannya diperbesar menghasilkan volume semprot yang lebih besar juga. Hal ini menyebabkan enyemprotan kurang merata karena pemakaian cairan herbisida boros.
Hasil uji pada Tabel 9 dan Tabel 10 belum bisa menggambarkan keadaan ebenarnya di lapangan. Volume semprot dipengaruhi juga oleh kecepatan jalan perator. Pada umumnya, kecepatan di lahan gambut lebih lambat dibandingkan ada lahan datar sehingga volume semprot yang dihasilkan pun lebih besar.
Pada lahan yang kondisi gulmanya sudah berat, prestasi kerja karyawan idak mencapai 2 ha/HK karena pekerja mengalami hambatan dalam pengerjaan ang diakibatkan oleh populasi gulma tersebut. Selain itu, kondisi lahan yang
 sering mengalami hujan menghambat laju pekerja dalam aplikasi herbisida. erkurangnya kecepatan jalan pekerja mempengaruhi volume herbisida yang igunakan.  Semakin  lambat  pekerja  berjalan,  maka semakin  banyak  herbisida ang digunakan.
Pengendalian   gulma   SP3TPH.   Kegiatan  SP3TPH   dilaksanakan  di iringan, jalan pikul, dan TPH. Gulma yang berada di piringan dibersihkan hingga W0, sedangakan gulma di gawangan terutama jalan pikul dikendalikan hingga ada   kondisi   yang   tidak   mengganggu.   Gulma   di   gawangan   mati   tidak ikendalikan secara intensif berkaitan dengan efisiensi biaya.
Campuran Ally 20 WDG dan Gramoxone 276 SL sangat efektif untuk mengendalikan gulma daun lebar seperti Neprolephis biserrata, clidemia hirta, hromolaena odorata, dan Asystasia coromandeliana. Hasil pengamatan menunjukkan  bahwa  gulma-gulma  tersebut  mengalami  kerusakan  efek  bakar etelah beberapa jam dari waktu aplikasi.
Pemakaian campuran Ally 20 WDG dan Gramoxone 276 SL memperlebar pektrum pengendalian kedua  herbisida.  Gramoxone  276  SL  yang  merupakan erbisida kontak berbahan aktif paraquat bekerja pada semua jenis gulma dan ekerja  secara  cepat  menimbulkan  efek  bakar  pada  jaringan  yang  terkena, edangkan Ally 20 WDG merupakan herbisida sistemik berbahan aktif metil metsulfron ditranslokasikan ke seluruh jaringan tumbuhan sehingga bisa menghambat pertumbuhan bagian gulma yang berada di bawah tanah.
Menurut Tomlin (1994), metil metsulfron merupakan herbisida sistemik an selektif. Herbisida ini kompatibel dengan banyak herbisida dan efektif dalam mengendalikan  gulma  daun  lebar  dan  teki.  Gambar  6  memperlihatkan  hasil emprot menggunakan campuran Ally 20 WDG dan Gramoxone 276 SL yang itandai dengan warna coklat terbakar pada bagian yang terkena cairan.
Penggunaan Smart 486 AS. Smart  486 AS mengandung  bahan aktif lifosat yang merupakan herbisida sistemik nonselektif yang berspektrum luas. PT AW  menggunakan  Smart  486  AS  untuk  mengendalikan  gulma  rumput  di awangan. Dosis dan volume semprot  Smart  486 AS sama dengan dosis dan olume semprot pada pengendalian gulma menggunakan campuran Ally 20 WDG
Jenis gulma
II MSA
Tingkat kerusakan         Kemudahan dicabut
aspalum conjugatum                                40 %                           Sangat sulit tochloa nodosa                                        40 %                           Sangat sulit xonopus compressus                                40 %                           Sangat sulit
ephrolepis biserrata                                 20 %                           Sangat sulit Mikania michranta                                     20 %                           Sangat sulit systasia coromandeliana                         20 %                           Sangat sulit
IV MSA
Jenis gulma
Tingkat kerusakan         Kemudahan dicabut
aspalum conjugatum                                80 %                              Mudah tochloa nodosa                                        80 %                              Mudah xonopus compressus                                80 %                              Mudah
ephrolepis biserrata                                 50 %                                Sulit Mikania michranta                                     50 %                                Sulit systasia coromandeliana                         50 %                                Sulit
umber : Pengamatan di Lapangan (2009)

n ulma  daun  sempit   masih  dalam  keadaan  mati.   Gambar  7   menunjukkan ertumbuhan kembali gulma daun lebar pada 7 MSA herbisida Smart 486 AS. Hal ni disebabkan matinya gulma rumput menyediakan ruang bagi cahaya masuk ke ermukaan tanah sehingga biji gulma daun lebar bisa tumbuh.
Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Sari (2002) yang menunjukkan ahwa glifosat 486 AS dosis 1.5 l/ha efektif mengendalikan gulma rumput sampai ada 12 MSA, sedangkan pengendalian gulma daun lebar membutuhkan dosis ang  lebih  tinggi karena glifosat  cenderung  sulit  berpenetrasi pada tumbuhan erdaun tebal akibat adanya lapisan kutikula yang tebal.
Sukarji dan Tobing (1987) menyebutkan gulma daun lebar umumya ermasuk gulma semusim dengan organ perbanyakan berupa biji. Glifosat merupakan herbisida yang diaplikasikan lewat daun, bila jatuh ke tanah bahan ktifnya   menjadi  tidak   aktif   sehingga   tidak   mematikan   biji   gulma   yang erkecambah.
pengendalian Gulma Piringan Selektif
Kegiatan ini merupakan kegiatan pengendalian gulma secara manual yang elaksanaannya masih dalam tahap percobaan berkaitan dengan biaya yang ikeluarkan. Kegiatan piringan selektif memerlukan biaya yang besar sedangkan asil kerja karyawan sangat rendah. Perusahaan mengujicobakan cara pengupahan
/7 HK dan borongan. Cara pengupahan 5/7 HK dilaksanakan dengan cara aryawan bekerja selama 5 jam dengan upah Rp 23 000,00. Dengan cara ini, restasi pekerja adalah 17 – 30 pokok.
 Sistem borongan dilakukan dengan upah Rp 375,00 / pokok dalam 5 jam erja. Hasil pekerjaan tidak berbeda jauh dengan sistem 5/7 HK. Dengan sistem ni pekerja menyelesaikan 24-42 pokok. Hal ini disebabkan pekerjaan piringan elektif merupakan pekerjaan berat. Kondisi lahan pengerjaan piringan selektif merupakan lahan dengan kondisi gulma berat.
Gulma yang tumbuh umumnya gulma daun lebar berupa Asystasia oromandeliana, Chromolaena odorata, kentosan (anakan sawit liar), Nephrolepis isserata,   dan  rayutan.   Masalah  paling   berat   adalah  pelepah   sawit   yang menumpuk di piringan, akibat dari kegiatan panen yang tidak rapi, dan harus ibongkar dan dirapikan ke gawangan mati.
Ketersediaan KHL untuk kegiatan piringan selektif juga menjadi masalah. ada umumnya karyawan merasa upah yang diterima tidak sebanding dengan ekerjaan. Hal ini menjadi perhatian penting  bagi perusahaan mengingat hasil ekerjaan rendah sedangkan biaya pekerjaan tinggi.
aktor-Faktor Keberhasilan Pengendalian Gulma
Pengendalian  gulma  ditujukan  untuk  mengendalikan  populasi  gulma ingga tahap tidak merugikan. Dalam pelaksanaanya, pengendalian gulma memenuhi efisiensi dan keefektifan pengerjaan karena akan berdampak pada enggunaan dana perusahaan. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan agar bisa icapai keberhasilan pengendalian gulma.
Faktor iklim. Iklim berperan aktif dalam menunjang kelancaran elaksanaan pengendalian gulma. Curah hujan yang tinggi menjadi penghambat agiatan pengendalian gulma. Kondisi lapangan berpengaruh besar terhadap elancaran  pelaksanaan  kegiatan  pengendalian  gulma.  Kondisi  lapangan  yang anjir tidak memungkinkan pelaksanaan kegiatan sehingga pekerjaan tertunda. al ini bisa mengakibatkan jadwal rotasi pengendalian gulma terganggu dan bisa mengakibatkan mundurnya jadwal rotasi berikutnya. Keterlambatan realisasi engendalian gulma akan berpengaruh pada keterlambatan rotasi selanjutnya dan al ini akan menghambat kegiatan kebun yang lain.
Curah   hujan   yang   tinggi   juga   berpengaruh   pada   prestasi   kerja engendalian gulma dan hasil kerjanya. Data iklim lokasi magang, yang disajikan ada Lampiran 3, menunjukkan curah hujan rata-rata tahunan antara tahun 1998
 sampai 2008 adalah 2 673.98 mm/tahun. Hasil pengamatan pada penyemprotan ampuran Gramoxone dan Ally di lapangan menunjukkan   bahwa hujan yang urun beberapa saat setelah penyemprotan dilakukan menyebabkan hasil semprot idak baik yang ditunjukkan dengan gulma tidak mengalami kerusakan. Jika ibandingkan dengan kondisi gulma pada barisan yang disemprot pada hari erikutnya yang tidak terjadi hujan, maka secara visual bisa dilihat perbedaannya ada 3 Hari Setelah Aplikasi (HSA). Gulma pada barisan yang disemprot pada ari hujan tidak mengalami kerusakan, sedangkan gulma yang disemprot pada ari tidak hujan sudah menunjukkan gejala kerusakan yang berarti.
Pengendalian gulma tidak bisa dilaksanakan pada hari hujan meskipun anya gerimis karena hujan akan mencuci herbisida sehingga keefektifan kerja erbisida berkurang. Untuk mendapatkan hasil yang baik, minimum 6 jam setelah plikasi tidak terjadi hujan.
Alat dan bahan. Pengendalian gulma membutuhkan alat dan bahan yang epat  agar pelaksanaannya berjalan lancar dan sesuai sasaran. Alat  dan bahan ersedia dalam jumlah cukup dan dalam kondisi yang  baik.  Ketidaktersediaan ahan akan menghambat  jalannya kegiatan yang berakibat pada keterlambatan engendalian. Gulma yang seharusnya sudah dikendalikan menjadi lebih banyak an mengakibatkan pengendalian lebih sulit. Gangguan pada jadwal pengendalian kan mengakibatkan mundurnya jadwal rotasi.
Bahan kimia berupa herbisida merupakan bahan yang sangat berharga. Di amping harganya mahal, herbisida sering mengalami ketidaktersediaan di gudang kibat keterlambatan pasokan dari pusat.
Di lapangan sering ditemukan permasalahan pada alat-alat semprot seperti napsack  bocor,  karet  pompa  macet,  nozzle  aus,  dll.  Selain  mengganggu elaksanaan kegiatan, kondisi tersebut bisa mengakibatkan kerugian dalam emakaian materi. Knapsack yang bocor mengakibatkan herbisida terbuang sia- ia. Nozzle aus mengakibatkan pemborosan materi dan hasil semprot tidak merata.





Rotasi Pengendalian Gulma
Rotasi  pengendalain  gulma  adalah  waktu  antara  pengendalian  gulma engan pengendalian gulma berikutnya pada blok yang sama. Pada tahun 2009,
 T JAW menerapkan rotasi pengendalian gulma 2 kali per tahun pengendalian ulma secara kimia. Rotasi pertama dimulai pada Januari sampai Mei, dan rotasi edua dimulai pada bulan Juli sampai November. Pengendalian secara manual merupakan teknik pengendalian yang masih diujicobakan dan dilaksanakan pada otasi pertama.
Berdasarkan  hasil  pengamatan  di  lapangan,  rotasi  2  kali  pengendalian ecara kimia per tahun memunculkan masalah pada bulan-bulan akhir rotasi. Pada ulan ketiga atau keempat, populasi gulma sudah meningkat dan menghambat egiatan kebun. Menurut Agustine (2003), interaksi herbisida paraquat (1 l/ha) engan metil metsulfron (20 g/ha) mampu menekan pertumbuhan gulma hanya ampai 6 MSA. Persentase penutupan gulma mulai meningkat setelah 6 MSA. ulma rumput mengalami pertumbuhan kembali karena alat perkembangbiakan egetatif berupa stolon masih aktif, sedangkan gulma daun lebar mengalami ertumbuhan baru oleh biji yang berada di bawah tanah.
Hasil penelitian Sari (2002) menunjukkan bahwa glifosat dengan dosis 1.5 ha mampu mengendalian gulma pada tingkat tidak merugikan hanya sampai 12
MSA.  Dalam  bukunya,  Pahan  (2008)  merekomendasikan  pengendalian  gulma ntuk tanaman lebih dari 6 tahun dilakukan sebanyak 3 kali setahun.







BAB II
PENUTUP
Kesimpulan
Pengelolaan pengendalian gulma di perkebunan  kelapa sawit  PT  JAW dilaksanakan secara kimia dengan rotasi 2 kali per tahun. Sasaran pengendalian ulma ditujukan pada piringan, jalan pikul, dan TPH, serta pengendalian alang- lang.   Pengendalian gulma secara manual berupa piringan selektif merupakan kegiatan baru dan masih diujicobakan.
Populasi gulma di lahan PT JAW didominasi oleh Nephrolepis bisserata, aspalum   conjugatum, Axonopus compressus, Agerotum conyzoides,  Asystasia oromandelian,   dan   Kentosan   (anakan   sawit   liar).   Gulma-gulma   tersebut ikendalikan menggunakan herbisida Ally 20 WDG, Gramoxone 276 SL, Smart
86 AS. Penggunaan campuran Ally 20 WDG dan Gramoxone 276 SL, efektif menekan gulma daun lebar. Selain itu, hasil semprot Smart 486 AS dosis 0.5 l/ha ada 7 MSA efektif menekan gulma rumput tetapi tidak pada gulma daun lebar
Rotasi pengendalian gulma 2 kali per tahun tidak sesuai dengan kondisi di pangan. Umumnya gulma sudah tumbuh berat pada bulan ketiga atau keempat otasi sehingga ketika memasuki rotasi kedua, populasi gulma sudah tumbuh berat an mengganggu kegiatan kebun.
Kodisi peralatan berpengaruh terhadap jumlah herbisida yang digunakan. napsack yang bocor menyebabkan larutan herbisida terbuang, sedangkan nozzle ang tidak standar menyebabkan pemborosan dalam pemakaian larutan herbisida.
Masalah keselamatan kerja dalam aplikasi herbisida belum bisa diterapkan engan benar pada kebun PT JAW. Pekerja tidak menggunakan perlengkapan eselamatan kerja karena merasa tidak nyaman, sedangkan perusahaan tidak bisa memaksakan penggunaan perlengkapan keselamatan kerja tersebut. Peran engawasan sangat besar dalam pencapaian prestasi kerja karyawan yang erpengaruh terhadap realisasi pengendalian gulma.





Saran

.   Pelaksanaan pengendalian secara kimiawi harus memperhatikan faktor iklim terutama curah hujan agar herbisida yang telah disemprotkan tidak mengalami pencucian oleh air hujan.
.   Kondisi peralatan semprot   yaitu knapsack dan nozzle harus dalam kondisi baik agar efisiensi kerja tercapai.
.   Rotasi pengendalian gulma diubah dari 2 kali per tahun menjadi 3 kali per tahun.


















DAFTAR PUSTAKA
Agustin,  E.  2003.  Penggunaan  herbisida  paraquat  dan  metsulfron  metal pada gulma tanaman karet (Hevea brassiliensis Muell. Arg.) Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 47 hal.
Direktorat  Jendral  Perkebunan.  2008.  Statistka  Perkebunan  Indonesia,  Kelapa
Sawit. Ditjenbun. Jakarta
ray, B. G. and Hew, C. K. 1968. Cover crop management on oil palm on the West Coast of Malaysia. P 56-65. In: Proceedings of Conference on Oil Palm Development in Malaysia (ed: Turner, P.D.). Incorporated Society of Planters, Kuala Lumpur.
Koswara, E. 2005. Pengaruh penambahan pupuk nitrogen teradap efektifitas dan efisiensi herbisida glifosat untuk mengendalikan gulma alang-alang (Imperata cylindrica) (L.) (Beauv.) Skripsi.  Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 39 hal.
lubis, A. U. 1992. Kelapa Sawit  (Elaeis guinensis Jacq.) di Indonesia. Pusat
Penelitian Perkebunan Marihat. Bandar Kuala. 435 hal.
Moenandir,  J 1993. Ilmu  Gulma dalam Sistem Pertanian.  PT Radja Grafindo
Persada. Jakarta. 159 hal.
noor, M. 2001. Pertanian Lahan Gambut. Kanisius. Yogyakarta. 173 hal.
lahan, I. 2008. Kelapa Sawit: Manajemen Agribisnis dari Hulu Hingga Hilir.
Penebar Swadaya. Jakarta. 411 hal
ari, C. 2002. Penggunaan glifosat  486 g/l dalam mengendalikan gulma pada piringan tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) yang telah menghasilkan. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 55 hal.

astroutomo, S. S. 1990. Ekologi Gulma. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
217 hal.
etyamidjaja, D. 2006. Kelapa Sawit : Teknik Budi Daya, Panen, dan Pengolahan.
Kanisius. Yogyakarta. 127 hal.
ukarji, R. dan T. Tobing. 1987. Percobaan Beberapa Jenis Herbisida untuk Penyiangan pada Kelapa Sawit. Makalah Pertemuan Teknis Perlindungan Tanaman perkebunan. Medan 17 hal.
ukman,  Y.  2000.  Gulma  dan  Teknik  Pengendaliannya.    Edisi  2.  PT  Radja
Grafindo Persada. Jakarta. 125 hal.
eo, L., Ong, K. P. and Maclean, R. J. 1990. Response of oil palm to eradication of Ischaemum muticum. P 301-307. In: Proc. of 1989 Int. Palm Oil Dev. Conf. - Agriculture. (eds: Jalani Sukaimi et al.) p ii-vii, 1-588.
jitrosoedirdjo, S., I. Utomo, dan J. Wiroatmojo (Eds). 1984. Pengelolaan Gulma di Perkebunan. PT Gramedia. Jakarta. 210 hal.
omlin, C. 1994. The Pesticide Manual, 10th  Edition. British Crop Protection
Publication.

No comments:

Post a Comment

LAPORAN MAGANG KELAPA SAWIT

LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANG TEKNIK PEMULIAAN TANAMAN KELAPA SAWIT ( Elaeis guineensis Jacq) DI PUSAT PENELITIAN KELAPA SAWIT (PPKS) M...