|
PENGENDALIAN GULMA PADA
TANAMAN KELAPA TELAH MENGHASILKAN DENGAN HERBISIDA SISTEMI
Oleh :
Jeky Miharja
NPM.E1J014144
JURUSAN BUDIDAYA PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2017
|
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tanaman kelapa sawit
merupakan komoditas perkebunan unggulan ndonesia. Di tengah krisis global yang
melanda dunia saat ini, industri kelapa awit
tetap bertahan dan
memberi sumbangan besar
terhadap perekonomian egara.
Selain mampu menciptakan kesempatan kerja yang luas, industri sawit menjadi
salah satu sumber devisa terbesar bagi Indonesia.
Seiring terus
meningkatnya jumlah penduduk
dunia, kebutuhan akan inyak makan juga terus meningkat. Minyak
Kelapa Sawit (MKS) merupakan ahan baku utama pembuatan minyak makan sehingga
MKS memiliki nilai yang angat srategis. Indonesia sebagai salah satu produsen
MKS terbesar di dunia erusaha terus meningkatkan produksinya. Hal ini bisa
dilihat dari terus ertambahnya areal perkebunan kelapa sawit.
Data dari
Direktorat Jendral Perkebunan
(2008) menunjukkan bahwa erjadi peningkatan luas areal
perkebunan kelapa sawit di Indonesia, dari 4 713
35 ha pada tahun 2001 menjadi 7
363 847 ha pada tahun 2008 dan luas areal erkebunan kelapa sawit ini terus
mengalami peningkatan. Peningkatan luas areal ersebut juga diimbangi dengan
peningkatan produktivitas Minyak Kelapa Sawit MKS). Produktivitas MKS adalah
1.78 ton/ha pada tahun 2001 dan meningkat menjadi 2.17 ton/ha pada tahun 2005.
Hal ini merupakan kecenderungan yang ositif dan harus dipertahankan. Untuk
mempertahankan produktivitas tanaman etap tinggi diperlukan pemeliharaan yang
tepat dan salah satu unsur pemeliharaan ebun kelapa sawit Tanaman Menghasilkan
(TM) adalah pengendalian gulma.
Gulma merupakan organisme pengganggu
tanaman yang dapat menimbulkan risiko terutama penurunan hasil. Gray dan Hew
(1968) melaporkan ahwa Mikania micrantha menyebabkan kehilangan hasil
tanaman kelapa sawit ebesar 20% selama
lima tahun. Pengendalian
Ischaemum muticum L.,
jenis ulma rerumputan tahunan,
mampu meningkatkan bobot
tandan buah segar ekitar 10 ton/ha dalam waktu tiga tahun
(Teo et al. 1990). Mengingat besarnya engaruh gulma terhadap produksi
kebun, maka diperlukan adanya pengendalian ulma yang tepat.
Tujuan
Tujuan Makalah ini ialah sebagai
berikut :
·
Menambah
wawasan dan pengetahuan tentang teknik budidaya maupun manajerial yang
diterapkan di kebun.
·
Membandingkan
antara teori yang diperoleh di bangku kuliah dengan kondisi di lapangan
serta meningkatkan kemampuan
profesionalisme mahasiswa dalam
memahami dan menghayati proses kerja yang nyata.
·
Mempelajari
pelaksanaan dan manajemen pengendalian gulma di perkebunan kelapa sawit
·
Menganalisis
permasalahan yang ada dalam pengelolaan pengendalian gulma di perkebunan kelapa
sawi
BAB
II
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Jenis Gulma
Jenis gulma yang tumbuh di suatu
tempat berbeda-beda, tergantung faktor ngkungan yang mempengaruhinya. Menurut
Sastroutomo (1990), komunitas umbuhan memperlihatkan adanya diferensiasi baik
secara vertikal maupun orizontal. Setiap
jenis tumbuhan tersebar dengan ketinggian tempat berbeda- eda dan tersebar pada lokasi dan
jarak yang berbeda-beda pula.
Untuk mengetahui kondisi gulma di
suatu lahan, perlu dilakukan analisis egetasi. Komunitas gulma dibedakan
menjadi gulma di gawangan dan gulma di iringan. Untuk gulma di gawangan, data
diambil dengan menggunakan metode uadran
berukuran 1 m
x 1 m
yang dilemparkan secara
acak. Pelemparan ilakukan pada 5
gawangan pada setiap blok dengan setiap gawangan dilakukan elemparan sebanyak
5 kali. Untuk
gulma di piringan,
data diambil dengan mencatat populasi gulma pada 5
gawangan untuk setiap blok dengan setiap awangan diambil 10 pokok contoh secara
acak.
Setiap individu yang ditemukan
pada petak pengamatan dihitung jumlah masing-masing. Data persentase populasi
gulma diperoleh dengan cara membandingkan antara jumlah individu suatu jenis
gulma yang ditemukan pada emua petak pengamatan
dengan total individu
semua jenis gulma
yang itemukan pada petak. Jenis gulma yang ada di blok C13 dan B15
Divisi III isajikan
tentu belum bisa menggambarkan
keadaan gulma yang ebenarnya di lapangan. Blok C13 dan B15 memiliki kedalaman
yang berbeda- eda. Blok C13 memiliki kedalaman gambut antara 2-8 m, sedangkan
Blok B15 memiliki kedalaman gambut 6 m sampai lebih dari 8 m. Hal ini tentu
memiliki engaruh terhadap kondisi gulma yang ada pada masing-masing blok.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Komunitas Gulma
Lingkungan. Faktor lingkungan
yang mempengaruhi komunitas gulma
dalah iklim terutama curah hujan.
Daerah yang memiliki curah hujan tinggi memiliki pertumbuhan
gulma yang cepat,
beragam, dan kerapatannya
tinggi.
Berdasarkan Schmidth-Ferguson,
kebun PT JAW memiliki tipe iklim A dengan urah hujan 2 673.98 mm/tahun.
Kondisi tanah,
yang didominasi oleh
tanah gambut, pada
musim enghujan sangat basah. Hal ini menjadikan kebun PT JAW sebagai
lahan yang aik bagi pertumbuhan gulma. Pertumbuhan gulma di kebun sangat cepat
karena idukung oleh curah hujan yang tinggi. Hal ini bisa dilihat dari kondisi
gulma ang berat ketika pelaksanaan penyemprotan dan sudah tumbuh lagi dengan
baik ebelum rotasi pengendalian gulma pertama selesai.
Tabel . Jenis-jenis Gulma di Blok
C13 dan B15
o. Jenis gulma di gawangan Populasi
Nephrolepis
bisserata 26. 6 %
Paspalum
conjugatum 22. 4 %
Axonopus
compressus 14. 9 %
Ottochloa
nodosa 1. 3 %
Ageratum
conyzoides 8. 7 %
Mikania
micrantha 6. 2 %
Borreria
alata 4. 9 %
Chromolaena
odorata 3. 8 %
Melastoma
malabathricum 1. 2 %
Total 100.0 %
o. Jenis gulma di piringan Populasi
Nephrolepis
bisserata 33. 6 %
Asystasia
coromandeliana 31. 8 %
Kentosan
(anakan sawit liar) 17. 3 %
Pteridium
esculentum 11. 9 %
Paspalum
conjugatum 5. 4 %
Total 100.0 %
Sumber : Pengamatan di Lapangan
Kultur teknis.
Kegiatan teknis kebun
yang berpengaruh terhadap omunitas gulma adalah pengolahan
lahan, pemupukan, dan pengendalian gulma ebelumnya. Pengolahan
lahan
pemupukan berkaitan dengan daya
saing gulma dalam penyerapan hara. Gulma di iringan akan tumbuh baik jika
pemupukan dilakukan tanpa pembersihan gulma. engendalian gulma
sebelumnya berkaitan dengan
rotasi pengendalian gulma ang tepat. Jika rotasi dilakukan hanya
2 kali setahun, maka gulma sudah tumbuh erat sebelum satu rotasi selesai
dilaksanakan.
Kondisi tanaman
pokok. Kondisi tanaman
pokok mempengaruhi omunitas tanaman
di bawahnya, yaitu
gulma. Tanaman pokok
yang baik memiliki tajuk yang saling
menutup sehingga cahaya yang masuk ke permukaan anah tidak banyak. Hal ini akan
menghambat pertumbuhan gulma di bawah tajuk arena intensitas cahaya matahari
kurang bagi pertumbuhan gulma. Pengamatan
Di lapangan menunjukkan
bahwa areal yang tajuk tanamannya sudah
menutup apat memiliki sedikit populasi gulma. Gulma tumbuh
banyak di bagian
luar awangan karena penerimaan intensitas cahaya matahari lebih tinggi,
sedangakan
Di dalam gawangan relative lebih
sedikit.
Pertumbuhan tanaman
pada lahan gambut
memang tidak sebaik
pada anah mineral berkaitan dengan daya dukung tanah terhadap
pertumbuhan kelapa awit. Banyak pokok kelapa sawit yang tumbuh miring akibat
fisik tanah tidak
mampu menopang bobot tanaman.
Aplikasiherbisida
Pengendalian gulma secara kimiawi
dilakukan dengan menggunakan erbisida. Menurut Moenandir (1993), herbisida
adalah bahan kimia yang dapat menghambat pertumbuhan bahkan mematikan tumbuhan.
Selanjutnya herbisida isa
diklasifikasikan menurut cara
kerjanya menjadi herbisida
kontak dan erbisida sistemik.
Herbisida kontak bekerja pada bagian yang terkena herbisida an tidak
ditranslokasikan, sedangkan herbisida sitemik adalah herbisida yang itranslokasikan
ke jaringan tumbuhan.
Masalah keselamatan kerja kurang
menjadi perhatian oleh para pekerja endiri.
Pekerja tidak menggunakan perlengkapan keselamatan kerja enyemprotan, seperti
pakaian khusus penyemprot
dan masker. Pekerja menganggap perlengkapan tersebut
menghambat kerja. Pakaian
khusus
penyemprot tidak
nyaman dipakai karena
terasa panas. Masker
khusus enyemprot dianggap menyulitkan
pekerja bernafas. Meskipun
sudah menyediakan, perusahaan tidak menekankan penggunaan perlengkapan
tersebut arena pekerja tidak mau bekerja jika dipaksa menggunakannya.
Dosis. Untuk mendapatkan hasil
semprot yang baik, perlu diperhatikan osis
dan volume semprot
yang dibutuhkan dalam
pengendalian gulma.
Manajemen PT JAW
telah menetapkan dosis
herbisida melalui perhitungan umlah dosis
dan volume semprot
berdasarkan rekomendasi dari
perusahaan. Kebutuhan herbisida perluasan dipengaruhi oleh umur tanaman
dan luas bidang emprot gawangan. Berikut adalah contoh penentuan dosis
herbisida Gramoxone76 SL.
Dosis rekomendasi blanket = 1.5 l/ha
SPH (Stand Per Ha) = jumlah tanaman per ha =
135 pokok
Jarak tanam dalam baris = 9.2 m Diameter piringan = 5 m Diameter
tanaman
= 0.8 m Lebar jalan pikul
yang disemprot = 1.2 m Rata-rata diameter tanaman = 0.8 m
Maka luas bidang semprot adalah
luas piringan ditambah luas jalan pikul.
piringan/ha = (L lingkaran piringan - L areal
tanaman) x SPH
= (πr2 - πr2) x 135
= (3.14 x (2.5 m)2 – 3.14 x (0.4
m )2) x 135
= 2578.85 m2
jalan pikul = panjang jalan pikul x lebar
jalan pikul
= x 1.2 m
= x 1.2 m
= 745 m2
bidang semprot/ha = 2578.85 m2 +
745 m2
= 3323.85 m2
Maka, dosis per ha =
x L bidang semprot
= x 3323.85 m2
= 0.498 l, atau dibulatkan
menjadi 0.5 l/ha.
Dosis yang digunakan tidak selalu
tepat 0.5 l/ha, tergantung pada kondisi ulma. Akan tetapi, ketika penulis melaksanakan
magang, perusahaan menekan enggunaan herbisida hingga dosis 0.4 l/ha untuk
efisiensi biaya,. Hal ini sering menjadi masalah di lapangan.
Perusahaan menginginkan gulma
bisa dikendalikan dengan dosis 0.4 l/ha, amun untuk kondisi gulma yang berat,
dosis 0.4 l/ha tidak mampu menekan ulma.
Mandor semprot sering
memerintahkan penggunaan dosis
0.5 l/ha meskipun dengan risiko
mendapat sanksi dari pimpinan. Penggunaan dosis yang melebihi anggaran
biaya tersebut menyebabkan
pembengkakan biaya pada ealisasi penggunaan herbisida.
Tabel Lampiran 8 menunjukkan realisasi pengendalian gulma secara imiawi di
Divisi III PT
JAW. Sebagian besar
realisasi pengendalian gulma melebihi anggaran biaya penggunaan
herbisida yang telah ditetapkan, yaitu dosis
.4 l/ha, sedangkan penggunaan
herbisida di lapangan sering mencapai 0.5 l/ha.
Volume semprot. Volume semprot
per ha ditetapkan agar efisiensi enyemprotan bisa tercapai. Volume semprot
adalah banyaknya larutan yang ibutuhkan perluasan. Volume semprot berpengaruh
terhadap penggunaan dosis erbisida. Jika volume semprot tidak memenuhi standar
kebun, maka herbisida ang digunakan juga tidak sama dengan dosis yang telah
ditetapkan.
Volume semprot
yang digunakan dipengaruhi
oleh kondisi jalan, ecepatan jalan, dan nozzle yang
digunakan. Untuk mempermudah pekerjaan di pangan, maka diperlukan kalibrasi volume semprot
terlebih dahulu sehingga iketahui kebutuhan herbisida per knapsack. Berikut
adalah contoh perhitungan tandar volume semprot menggunakan nozzle hitam
V =
A = Ukuran lebar semprot rata-rata (m)
B = jarak yang ditempuh operator semprot per
menit (m/menit) C = rata-rata output
semprot per menit (l/menit)
L = Luas bidang semprot (m2)
V = volume semprot
Maka, V =
= 148.6 liter
Untuk memudahkan
pelaksanaan penyemprotan, volume
semprot inyatakan dalam satuan knapsack (15 liter). Volume semprot yang
dibutuhkan ntuk semprot jalan pikul dan piringan per hektar (3323.85 m2) adalah
148.6 liter
15 liter sama dengan 9.9 knapsack
atau dibulatkan menjadi 10 knapsack . Pada elaksanaan teknis
penyemprotan di lapangan,
volume semprot yang iaplikasikan tidak selalu tepat 148.6
liter. Untuk alasan yang telah disebutkan ada
pembahasan tentang dosis,
perusahaan menekan penggunaan
herbisida menjadi 0.4 l/ha, dengan demikian kebutuhan volume semprot
juga berkurang menjadi 8 knapsack .
Besarnya volume
semprot yang telah
ditetapkan harus dipatuhi
oleh ekerja. Namun, dalam pelaksanaannya volume semprot juga dipengaruhi
oleh aktor operator. Berdasarkan
pengujian terhadap 5
orang operator semprot engan
cara simulasi semprot
di tempat yang datar
untuk mengetahui nozzle utput
yang dihasilkan masing-masing
operator menggunakan knapsack
dan ozzle merah yang sama, diperoleh data yang disajikan padaTabel 9.
Tabel 9. Data Pengamatan Nozzle
Output. Operator
semprot Ulangan I Ulangan II Ulangan III Rata-rata
-------------------------liter/menit-------------------------
A 1.52 1.39 1.42 1.44
B 1.51 1.42 1.46 1.46
C 1.38 1.51 1.44 1.44
D 1.47 1.56 1.46 1.49
E 1.39 1.46 1.38 1.41
sumber : Pengamatan di lapangan
Data pada Tabel 9 menunjukkan bahwa dengan
nozzle dan knapsack yang ama, setiap operator menghasilkan output semprot yang
berbeda. Meskipun erbedaannya kecil, jika dilakukan dalam waktu yang lama,
yaitu selama kegiatan enyemprotan, bisa mempengaruhi volume semprot yang
digunakan. Hal ini isebabkan perbedaan kecepatan dan kekuatan memompa.
Kenyataan di lapangan menunjukkan
bahwa tidak semua operator semprot menggunakan
nozzle yang standar.
Operator semprot biasanya
memperbesar ubang pengeluaran
nozzle untuk mempercepat
keluarnya larutan dengan cara
icongkel atau dikorek
menggunakan jarum. Tabel
10 menunjukkkan hasil engujian terhadap 5 orang operator
semprot menggunakan knapsack dan nozzle merah masing-masing.
Tabel 10.
Data Pengamatan Nozzle
Output 5 Operator
Semprot
Menggunakan Knapsack dan Nozzle
Merah Masing-masing.
Operator semprot Ulangan I Ulangan II Ulangan III Rata-rata
------------------------- l/menit
-------------------------
A 1.64 1.59 1.70 1.64
B 1.66 1.64 1.71 1.67
C 1.65 1.61 1.64 1.63
D 1.68 1.64 1.63 1.65
E 1.61 1.65 1.72 1.66
sumber : Pengamatan di lapangan
Data pada Tabel 10 menunjukkan
volume semprot juga dipengaruhi oleh ozzle yang digunakan. Nozzle yang lubang
pengeluarannya diperbesar menghasilkan volume semprot yang lebih besar juga.
Hal ini menyebabkan enyemprotan kurang merata karena pemakaian cairan herbisida
boros.
Hasil uji pada Tabel 9 dan Tabel
10 belum bisa menggambarkan keadaan ebenarnya di lapangan. Volume semprot
dipengaruhi juga oleh kecepatan jalan perator. Pada umumnya, kecepatan di lahan
gambut lebih lambat dibandingkan ada lahan datar sehingga volume semprot yang
dihasilkan pun lebih besar.
Pada lahan yang kondisi gulmanya
sudah berat, prestasi kerja karyawan idak mencapai 2 ha/HK karena pekerja
mengalami hambatan dalam pengerjaan ang diakibatkan oleh populasi gulma
tersebut. Selain itu, kondisi lahan yang
sering mengalami hujan menghambat laju pekerja
dalam aplikasi herbisida. erkurangnya kecepatan jalan pekerja mempengaruhi
volume herbisida yang igunakan.
Semakin lambat pekerja
berjalan, maka semakin banyak
herbisida ang digunakan.
Pengendalian gulma
SP3TPH. Kegiatan SP3TPH
dilaksanakan di iringan, jalan
pikul, dan TPH. Gulma yang berada di piringan dibersihkan hingga W0, sedangakan
gulma di gawangan terutama jalan pikul dikendalikan hingga ada kondisi
yang tidak mengganggu.
Gulma di gawangan
mati tidak ikendalikan secara
intensif berkaitan dengan efisiensi biaya.
Campuran Ally 20 WDG dan
Gramoxone 276 SL sangat efektif untuk mengendalikan gulma daun lebar seperti
Neprolephis biserrata, clidemia hirta, hromolaena odorata, dan Asystasia
coromandeliana. Hasil pengamatan menunjukkan
bahwa gulma-gulma tersebut
mengalami kerusakan efek
bakar etelah beberapa jam dari waktu aplikasi.
Pemakaian campuran Ally 20 WDG
dan Gramoxone 276 SL memperlebar pektrum pengendalian kedua herbisida.
Gramoxone 276 SL
yang merupakan erbisida kontak
berbahan aktif paraquat bekerja pada semua jenis gulma dan ekerja secara
cepat menimbulkan efek
bakar pada jaringan
yang terkena, edangkan Ally 20
WDG merupakan herbisida sistemik berbahan aktif metil metsulfron
ditranslokasikan ke seluruh jaringan tumbuhan sehingga bisa menghambat
pertumbuhan bagian gulma yang berada di bawah tanah.
Menurut Tomlin (1994), metil
metsulfron merupakan herbisida sistemik an selektif. Herbisida ini kompatibel
dengan banyak herbisida dan efektif dalam mengendalikan gulma
daun lebar dan
teki. Gambar 6
memperlihatkan hasil emprot
menggunakan campuran Ally 20 WDG dan Gramoxone 276 SL yang itandai dengan warna
coklat terbakar pada bagian yang terkena cairan.
Penggunaan Smart 486 AS.
Smart 486 AS mengandung bahan aktif lifosat yang merupakan herbisida
sistemik nonselektif yang berspektrum luas. PT AW menggunakan
Smart 486 AS
untuk mengendalikan gulma
rumput di awangan. Dosis dan
volume semprot Smart 486 AS sama dengan dosis dan olume semprot
pada pengendalian gulma menggunakan campuran Ally 20 WDG
Jenis gulma
II MSA
Tingkat kerusakan Kemudahan dicabut
aspalum conjugatum 40 % Sangat sulit tochloa
nodosa
40 %
Sangat sulit xonopus compressus 40 % Sangat sulit
ephrolepis biserrata 20 % Sangat sulit Mikania
michranta
20 %
Sangat sulit systasia coromandeliana 20 % Sangat sulit
IV MSA
Jenis gulma
Tingkat kerusakan Kemudahan dicabut
aspalum conjugatum 80 % Mudah tochloa
nodosa
80 % Mudah xonopus compressus 80 % Mudah
ephrolepis biserrata 50 % Sulit Mikania
michranta 50 % Sulit systasia
coromandeliana 50
% Sulit
umber : Pengamatan di Lapangan
(2009)
n ulma daun
sempit masih dalam
keadaan mati. Gambar
7 menunjukkan ertumbuhan kembali
gulma daun lebar pada 7 MSA herbisida Smart 486 AS. Hal ni disebabkan matinya
gulma rumput menyediakan ruang bagi cahaya masuk ke ermukaan tanah sehingga
biji gulma daun lebar bisa tumbuh.
Hal tersebut sesuai dengan hasil
penelitian Sari (2002) yang menunjukkan ahwa glifosat 486 AS dosis 1.5 l/ha
efektif mengendalikan gulma rumput sampai ada 12 MSA, sedangkan pengendalian
gulma daun lebar membutuhkan dosis ang
lebih tinggi karena glifosat cenderung
sulit berpenetrasi pada tumbuhan
erdaun tebal akibat adanya lapisan kutikula yang tebal.
Sukarji dan Tobing (1987)
menyebutkan gulma daun lebar umumya ermasuk gulma semusim dengan organ
perbanyakan berupa biji. Glifosat merupakan herbisida yang diaplikasikan lewat
daun, bila jatuh ke tanah bahan ktifnya
menjadi tidak aktif
sehingga tidak mematikan
biji gulma yang erkecambah.
pengendalian Gulma Piringan
Selektif
Kegiatan ini merupakan kegiatan
pengendalian gulma secara manual yang elaksanaannya masih dalam tahap percobaan
berkaitan dengan biaya yang ikeluarkan. Kegiatan piringan selektif memerlukan
biaya yang besar sedangkan asil kerja karyawan sangat rendah. Perusahaan
mengujicobakan cara pengupahan
/7 HK dan borongan. Cara
pengupahan 5/7 HK dilaksanakan dengan cara aryawan bekerja selama 5 jam dengan
upah Rp 23 000,00. Dengan cara ini, restasi pekerja adalah 17 – 30 pokok.
Sistem borongan dilakukan dengan upah Rp
375,00 / pokok dalam 5 jam erja. Hasil pekerjaan tidak berbeda jauh dengan
sistem 5/7 HK. Dengan sistem ni pekerja menyelesaikan 24-42 pokok. Hal ini
disebabkan pekerjaan piringan elektif merupakan pekerjaan berat. Kondisi lahan
pengerjaan piringan selektif merupakan lahan dengan kondisi gulma berat.
Gulma yang tumbuh umumnya gulma
daun lebar berupa Asystasia oromandeliana, Chromolaena odorata, kentosan
(anakan sawit liar), Nephrolepis isserata,
dan rayutan. Masalah
paling berat adalah
pelepah sawit yang menumpuk di piringan, akibat dari
kegiatan panen yang tidak rapi, dan harus ibongkar dan dirapikan ke gawangan
mati.
Ketersediaan KHL untuk kegiatan
piringan selektif juga menjadi masalah. ada umumnya karyawan merasa upah yang
diterima tidak sebanding dengan ekerjaan. Hal ini menjadi perhatian
penting bagi perusahaan mengingat hasil
ekerjaan rendah sedangkan biaya pekerjaan tinggi.
aktor-Faktor Keberhasilan
Pengendalian Gulma
Pengendalian gulma
ditujukan untuk mengendalikan
populasi gulma ingga tahap tidak
merugikan. Dalam pelaksanaanya, pengendalian gulma memenuhi efisiensi dan
keefektifan pengerjaan karena akan berdampak pada enggunaan dana perusahaan.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan agar bisa icapai keberhasilan
pengendalian gulma.
Faktor iklim. Iklim berperan
aktif dalam menunjang kelancaran elaksanaan pengendalian gulma. Curah hujan
yang tinggi menjadi penghambat agiatan pengendalian gulma. Kondisi lapangan
berpengaruh besar terhadap elancaran
pelaksanaan kegiatan pengendalian
gulma. Kondisi lapangan
yang anjir tidak memungkinkan pelaksanaan kegiatan sehingga pekerjaan
tertunda. al ini bisa mengakibatkan jadwal rotasi pengendalian gulma terganggu
dan bisa mengakibatkan mundurnya jadwal rotasi berikutnya. Keterlambatan
realisasi engendalian gulma akan berpengaruh pada keterlambatan rotasi
selanjutnya dan al ini akan menghambat kegiatan kebun yang lain.
Curah hujan
yang tinggi juga
berpengaruh pada prestasi
kerja engendalian gulma dan hasil kerjanya. Data iklim lokasi magang,
yang disajikan ada Lampiran 3, menunjukkan curah hujan rata-rata tahunan antara
tahun 1998
sampai 2008 adalah 2 673.98 mm/tahun. Hasil
pengamatan pada penyemprotan ampuran Gramoxone dan Ally di lapangan
menunjukkan bahwa hujan yang urun
beberapa saat setelah penyemprotan dilakukan menyebabkan hasil semprot idak
baik yang ditunjukkan dengan gulma tidak mengalami kerusakan. Jika ibandingkan
dengan kondisi gulma pada barisan yang disemprot pada hari erikutnya yang tidak
terjadi hujan, maka secara visual bisa dilihat perbedaannya ada 3 Hari Setelah
Aplikasi (HSA). Gulma pada barisan yang disemprot pada ari hujan tidak
mengalami kerusakan, sedangkan gulma yang disemprot pada ari tidak hujan sudah
menunjukkan gejala kerusakan yang berarti.
Pengendalian gulma tidak bisa
dilaksanakan pada hari hujan meskipun anya gerimis karena hujan akan mencuci
herbisida sehingga keefektifan kerja erbisida berkurang. Untuk mendapatkan
hasil yang baik, minimum 6 jam setelah plikasi tidak terjadi hujan.
Alat dan bahan. Pengendalian
gulma membutuhkan alat dan bahan yang epat
agar pelaksanaannya berjalan lancar dan sesuai sasaran. Alat dan bahan ersedia dalam jumlah cukup dan
dalam kondisi yang baik. Ketidaktersediaan ahan akan menghambat jalannya kegiatan yang berakibat pada
keterlambatan engendalian. Gulma yang seharusnya sudah dikendalikan menjadi
lebih banyak an mengakibatkan pengendalian lebih sulit. Gangguan pada jadwal
pengendalian kan mengakibatkan mundurnya jadwal rotasi.
Bahan kimia berupa herbisida
merupakan bahan yang sangat berharga. Di amping harganya mahal, herbisida
sering mengalami ketidaktersediaan di gudang kibat keterlambatan pasokan dari
pusat.
Di lapangan sering ditemukan
permasalahan pada alat-alat semprot seperti napsack bocor,
karet pompa macet,
nozzle aus, dll.
Selain mengganggu elaksanaan
kegiatan, kondisi tersebut bisa mengakibatkan kerugian dalam emakaian materi.
Knapsack yang bocor mengakibatkan herbisida terbuang sia- ia. Nozzle aus
mengakibatkan pemborosan materi dan hasil semprot tidak merata.
Rotasi
Pengendalian Gulma
Rotasi pengendalain
gulma adalah waktu
antara pengendalian gulma engan pengendalian gulma berikutnya
pada blok yang sama. Pada tahun 2009,
T JAW menerapkan rotasi pengendalian gulma 2
kali per tahun pengendalian ulma secara kimia. Rotasi pertama dimulai pada
Januari sampai Mei, dan rotasi edua dimulai pada bulan Juli sampai November.
Pengendalian secara manual merupakan teknik pengendalian yang masih
diujicobakan dan dilaksanakan pada otasi pertama.
Berdasarkan hasil
pengamatan di lapangan,
rotasi 2 kali
pengendalian ecara kimia per tahun memunculkan masalah pada bulan-bulan
akhir rotasi. Pada ulan ketiga atau keempat, populasi gulma sudah meningkat dan
menghambat egiatan kebun. Menurut Agustine (2003), interaksi herbisida paraquat
(1 l/ha) engan metil metsulfron (20 g/ha) mampu menekan pertumbuhan gulma hanya
ampai 6 MSA. Persentase penutupan gulma mulai meningkat setelah 6 MSA. ulma
rumput mengalami pertumbuhan kembali karena alat perkembangbiakan egetatif
berupa stolon masih aktif, sedangkan gulma daun lebar mengalami ertumbuhan baru
oleh biji yang berada di bawah tanah.
Hasil penelitian Sari (2002)
menunjukkan bahwa glifosat dengan dosis 1.5 ha mampu mengendalian gulma pada
tingkat tidak merugikan hanya sampai 12
MSA. Dalam
bukunya, Pahan (2008)
merekomendasikan
pengendalian gulma ntuk tanaman
lebih dari 6 tahun dilakukan sebanyak 3 kali setahun.
BAB
II
PENUTUP
Kesimpulan
Pengelolaan pengendalian gulma di
perkebunan kelapa sawit PT JAW
dilaksanakan secara kimia dengan rotasi 2 kali per tahun. Sasaran pengendalian
ulma ditujukan pada piringan, jalan pikul, dan TPH, serta pengendalian alang-
lang. Pengendalian gulma secara manual
berupa piringan selektif merupakan kegiatan baru dan masih diujicobakan.
Populasi gulma di lahan PT JAW
didominasi oleh Nephrolepis bisserata, aspalum
conjugatum, Axonopus compressus, Agerotum conyzoides, Asystasia oromandelian, dan
Kentosan (anakan sawit
liar). Gulma-gulma tersebut ikendalikan menggunakan herbisida
Ally 20 WDG, Gramoxone 276 SL, Smart
86 AS. Penggunaan campuran Ally
20 WDG dan Gramoxone 276 SL, efektif menekan gulma daun lebar. Selain itu,
hasil semprot Smart 486 AS dosis 0.5 l/ha ada 7 MSA efektif menekan gulma
rumput tetapi tidak pada gulma daun lebar
Rotasi pengendalian gulma 2 kali
per tahun tidak sesuai dengan kondisi di pangan. Umumnya gulma sudah tumbuh
berat pada bulan ketiga atau keempat otasi sehingga ketika memasuki rotasi
kedua, populasi gulma sudah tumbuh berat an mengganggu kegiatan kebun.
Kodisi peralatan berpengaruh
terhadap jumlah herbisida yang digunakan. napsack yang bocor menyebabkan
larutan herbisida terbuang, sedangkan nozzle ang tidak standar menyebabkan
pemborosan dalam pemakaian larutan herbisida.
Masalah keselamatan kerja dalam
aplikasi herbisida belum bisa diterapkan engan benar pada kebun PT JAW. Pekerja
tidak menggunakan perlengkapan eselamatan kerja karena merasa tidak nyaman,
sedangkan perusahaan tidak bisa memaksakan penggunaan perlengkapan keselamatan
kerja tersebut. Peran engawasan sangat besar dalam pencapaian prestasi kerja
karyawan yang erpengaruh terhadap realisasi pengendalian gulma.
Saran
. Pelaksanaan pengendalian secara kimiawi
harus memperhatikan faktor iklim terutama curah hujan agar herbisida yang telah
disemprotkan tidak mengalami pencucian oleh air hujan.
. Kondisi peralatan semprot yaitu knapsack dan nozzle harus dalam
kondisi baik agar efisiensi kerja tercapai.
. Rotasi pengendalian gulma diubah dari 2 kali
per tahun menjadi 3 kali per tahun.
DAFTAR
PUSTAKA
Agustin, E.
2003. Penggunaan herbisida
paraquat dan metsulfron
metal pada gulma tanaman karet (Hevea brassiliensis Muell. Arg.)
Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 47 hal.
Direktorat Jendral
Perkebunan. 2008. Statistka
Perkebunan Indonesia, Kelapa
Sawit. Ditjenbun. Jakarta
ray, B. G. and Hew, C. K. 1968.
Cover crop management on oil palm on the West Coast of Malaysia. P 56-65. In:
Proceedings of Conference on Oil Palm Development in Malaysia (ed: Turner,
P.D.). Incorporated Society of Planters, Kuala Lumpur.
Koswara, E. 2005. Pengaruh
penambahan pupuk nitrogen teradap efektifitas dan efisiensi herbisida glifosat
untuk mengendalikan gulma alang-alang (Imperata cylindrica) (L.) (Beauv.)
Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut
Pertanian Bogor. Bogor. 39 hal.
lubis, A. U. 1992. Kelapa
Sawit (Elaeis guinensis Jacq.) di
Indonesia. Pusat
Penelitian Perkebunan Marihat.
Bandar Kuala. 435 hal.
Moenandir, J 1993. Ilmu
Gulma dalam Sistem Pertanian. PT
Radja Grafindo
Persada. Jakarta. 159 hal.
noor, M. 2001. Pertanian Lahan
Gambut. Kanisius. Yogyakarta. 173 hal.
lahan, I. 2008. Kelapa Sawit:
Manajemen Agribisnis dari Hulu Hingga Hilir.
Penebar Swadaya. Jakarta. 411 hal
ari, C. 2002. Penggunaan
glifosat 486 g/l dalam mengendalikan
gulma pada piringan tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) yang telah
menghasilkan. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 55
hal.
astroutomo, S. S. 1990. Ekologi
Gulma. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
217 hal.
etyamidjaja, D. 2006. Kelapa
Sawit : Teknik Budi Daya, Panen, dan Pengolahan.
Kanisius. Yogyakarta. 127 hal.
ukarji, R. dan T. Tobing. 1987.
Percobaan Beberapa Jenis Herbisida untuk Penyiangan pada Kelapa Sawit. Makalah
Pertemuan Teknis Perlindungan Tanaman perkebunan. Medan 17 hal.
ukman, Y.
2000. Gulma dan
Teknik Pengendaliannya. Edisi
2. PT Radja
Grafindo Persada. Jakarta. 125
hal.
eo, L., Ong, K. P. and Maclean,
R. J. 1990. Response of oil palm to eradication of Ischaemum muticum. P
301-307. In: Proc. of 1989 Int. Palm Oil Dev. Conf. - Agriculture. (eds: Jalani
Sukaimi et al.) p ii-vii, 1-588.
jitrosoedirdjo, S., I. Utomo, dan
J. Wiroatmojo (Eds). 1984. Pengelolaan Gulma di Perkebunan. PT Gramedia.
Jakarta. 210 hal.
omlin, C. 1994. The Pesticide
Manual, 10th Edition. British Crop
Protection
Publication.

No comments:
Post a Comment